Misteri Valentine's Day (1): Bermula dari Lupercalian Festival
Jelang pertengahan Februari ini, Eramuslim mencoba mengangkat 
peristiwa yang dirayakan hampir seluruh anak muda di dunia, yaitu hari 
kasih sayang yang lebih populer dikenal sebagai Valentine's Day yang 
selalu jatuh pada tanggal 14 Februari.
Valentine’s Day dengan segala pernak-perniknya sesungguhnya tidak 
lepas dari arus utama Konspiratif yang hendak menghancurkan ketauhidan 
seperti yang diajarkan para penyampai Risallah sejak Adam a.s. hingga 
Muhammad SAW. Banyak sisi dari ‘hari istimewa’ tersebut  yang belum 
banyak kita ketahui. Banyak yang menyangka, umat Islam dilarang 
mengikuti ritual tersebut semata-mata karena bersumber dari ritual kaum 
Nasrani. Ini salah besar. Gereja Katolik pun pernah mengeluarkan 
larangan umatnya untuk ikut-ikutan Valentine’s Day. Bahkan Katolik 
Ensiklopaedia menyatakan ritual Valentine’s Day berasal dari ritual 
pemujaan terhadap setan (The Satanic Ritual) dan paganisme.
Bukan itu saja, daya hancur Valentine’s Day juga dahsyat, terutama 
dari sisi akidah dan moral. Sasaran utama penghancuran ini tentu saja 
generasi muda.
Dalam bahasa Inggris, “Kasih Sayang” ditulis sebagai “Affection”, 
bukan “Love”. Ada perbedaan mendasar antara istilah Affection dengan 
Love. Yang pertama lebih dekat dengan perasaan atau curahan hati, 
bersifat kejiwaan yang halus dan indah, sedang  yang kedua, “Love”, 
lebih dekat dengan tindakan yang mengarah kepada kegiatan atau aktivitas
 seksual. Mungkin sebab itu, hubungan seksual disebut sebagai “Making 
Love”.
Nah, terkait dengan pemahaman tersebut, Valentine’s Day sesungguhnya 
tidak tepat jika diartikan sebagai “Hari Kasih Sayang”. Karena peristiwa
 yang terjadi berabad tahun silam, yang kini diperingati sebagai Hari 
Valentine, berawal dari suatu peristiwa yang lebih tepat disebut sebagai
 pesta kemaksiatan (
Making Love Party) ketimbang Pesta Kasih 
Sayang. Peristiwa tersebut merupakan suatu ritual bagi bangsa Pagan Roma
 yang dinamakan Lupercalian Festival.
Dalam kepercayaan Pagan Roma, bulan Februari dianggap sebagai bulan penuh “cinta” 
(Love, bukan 
affection)
 dan bulan kesuburan (baca: masa birahi atau syahwat). Lupercalian Atau 
Lupercus sendiri merupakan nama Dewa Kesuburan (Dewa Pertanian dan 
Gembala), yang dipercaya berwujud seorang lelaki perkasa dan berpakaian 
setengah telanjang dengan hanya menutupi tubuhnya dengan kulit kambing. 
Mitologi mengenai Lupercus terkait erat dengan kisah Remus dan Romulus 
yang tinggal di bukit Palatine dan diyakini kisahnya mengawali 
pembangunan Kota Roma.
Selain Roma, kepercayaan Pagan Yunani Kuno juga meyakini bulan 
Februari—tepatnya pertengahan Januari dan mencapai puncaknya pada 
pertengahan Februari—merupakan bulan Gamelion, yang dipersembahkan 
kepada perkawinan suci Dewa Zeus dan Hera. Baik kepercayaan Pagan Roma 
maupun Pagan Yunani, keduanya meyakini bahwa Februari merupakan bulan 
penuh gairah dan cinta (baca: syahwat).
LUPERCALIA FEST 
Lupercalia Festival merupakan sebuah perayaan yang berlangsung pada 
tanggal 13 hingga 18 Februari, di mana pada tanggal 15 Februari mencapai
 puncaknya. Dua hari pertama (13-14 Februari), dipersembahkan untuk Dewi
 Cinta (
Queen of Feverish Love) bernama Juno Februata. Pada 
tanggal 13-nya, di pagi hari, pendeta tertinggi pagan Roma menghimpun 
para pemuda dan pemudi untuk mendatangi kuil pemujaan. Mereka dipisah 
dalam dua barisan dan sama-sama menghadap altar utama. Semua nama 
perempuan muda ditulis dalam lembaran-lembaran kecil. Satu lembaran 
kecil hanya boleh berisi satu nama. Lembaran-lembaran yang berisi 
nama-nama perempuan muda itu lalu dimasukkan kedalam wadah mirip kendi 
besar, atau ada juga yang menyebutnya di masukan ke dalam wadah mirip 
botol besar.
Setelah itu, sang pendeta yang memimpin upacara mempersilakan para 
pemuda maju satu persatu untuk mengambil satu nama gadis yang telah 
berada di dalam wadah secara acak, hingga wadah tersebut kosong. Setiap 
nama gadis yang terambil, maka sang empunya nama harus menjadi kekasih 
pemuda yang mengambilnya dan berkewajiban melayani segala yang 
diinginkan sang pemuda tersebut selama setahun hingga Lupercalian 
Festival tahun depan.
Tanpa ikatan perkawinan, mereka bebas berbuat apa saja. Dan malam 
pertama di hari itu, malam menjelang 14 Februari hingga malam menjelang 
15 Februari, di seluruh kota, para pasangan baru itu merayakan apa yang 
kini terlanjur disebut sebagai ‘Hari Kasih Sayang’. Suatu istilah yang 
benar-benar keliru dan lebih tepat disebut sebagai ‘Making Love Day’ 
alias Malam Kemaksiatan.
Pada tanggal 15 Februari, setelah sehari penuh para pasangan baru itu
 mengumbar syahwatnya, mereka secara berpasang-pasangan kembali 
mendatangi kuil pemujaan untuk memanjatkan doa kepada Dewa Lupercalia 
agar dilindungi dari gangguan serigala dan roh jahat. Dalam upacara ini,
 pendeta pagan Roma akan membawa dua ekor kambing dan seekor anjing yang
 kemudian disembelih diatas altar sebagai persembahan kepada Dewa 
Lupercalia atau Lupercus. Persembahan ini kemudian diikuti dengan ritual
 meminum anggur.
Setelah itu, para pemuda mengambil satu lembar kulit kambing yang 
telah tersedia dan berlari di jalan-jalan kota sambil diikuti oleh para 
gadis. Jalan-jalan kota Roma meriah oleh teriakan dan canda-tawa para 
muda-mudi, di mana yang perempuan berlomba-lomba mendapatkan sentuhan 
kulit kambing terbanyak dan yang pria berlomba-lomba menyentuh gadis 
sebanyak-banyaknya.
Para perempuan Romawi kuno di zaman itu sangat percaya bahwa kulit 
kambing yang dipersembahkan kepada Dewa Lupercus tersebut memiliki daya 
magis yang luar biasa, yang mampu membuat mereka bertambah subur, 
bertambah muda, dan bertambah cantik. Semakin banyak mereka bisa 
menyentuh kulit kambing tersebut maka mereka yakin akan bertambah cantik
 dan subur.
Upacara yang sangat dinanti-nantikan orang-orang muda di Roma ini 
menjadi salah satu perayaan favorit. Hal ini tidak aneh mengingat 
kehidupan masyarakat Pagan Roma memang sangat menuhankan keperkasaan 
(kejantanan), kecantikan, dan seks. Bahkan para Dewa dan Dewi—tuhan 
mereka—digambarkan sebagai sosok lelaki perkasa dan perempuan yang 
cantik nan menawan, dengan pakaian yang minim bahkan telanjang sama 
sekali. Bangsa Roma memang sangat memuja kesempurnaan raga. Banyak 
literatur menulis tentang tradisi Pagan Roma tersebut. Sampai sekarang, 
pusat-pusat kebugaran yang menjadi salah satu ‘tren orang modern’ 
disebut sebagai Gymnasium atau disingkat Gym saja, yang berasal dari 
istilah Roma yang mengacu pada tempat olah tubuh.
Tradisi pemujaan terhadap keperkasaan dan kecantikan ini, dan 
tentunya semuanya bermuara pada pendewaan terhadap syahwat, tidak 
menghilang saat Roma dijadikan pusat Gereja Barat oleh Kaisar 
Konstantin. Gereja malah melanggengkan ritual pesta syahwat ini dengan 
memberinya ‘bungkus kekristenan’ dengan mengganti nama-nama gadis dan 
para pemuda dengan nama-nama Paus atau Pastor atau orang-orang suci 
seperti Santo atau Saint (laki-laki) atau Santa (Perempuan). Mereka yang
 melakukan ini adalah Kaisar Konstantin sebagai Paus pertama dan Paus 
Gregory I. Bahkan pada tahun 496 M, Paus Gelasius I menjadikan 
Lupercalian Festival ini menjadi perayaan Gereja dengan memunculkan 
mitos tentang Santo Valentinus (Saint Valentine’s) yang dikatakan 
meninggal pada 14 Februari.
Inilah apa yang sekarang kita kenal sebagai ‘The Valentine’s Day’. 
Lupercalian Festival yang sesungguhnya lebih tepat disebut sebagai 
‘Making Love Day, merupakan asal-muasal peringatan ini. Oleh sejumlah 
pihak yang ingin mendapat keuntungan dari ritual tersebut dan eksesnya, 
momentum itu disebut sebagai ‘Hari Kasih Sayang’, sesuatu yang sangat 
jauh dan beda esensinya. (Selengkapnya Baca: 
Eramuslim Digest Edisi 5: The Dark Valentines, Ritual Setan yang Sekarang Dipuja)
Misteri Valentine's Day (2): Mitos Santo Valentinus
Valentine’s Day konon berasal dari kisah hidup seorang Santo (orang 
suci dalam Katolik) yang rela menyerahkan nyawanya demi cinta orang 
lain. Nama orang suci itu Santo Valentinus. Namun sejarah Gereja sendiri
 tidak menemukan kata sepakat tentang siapa sesungguhnya sosok Santo 
Valentinus sendiri. Bahkan banyak yang kemudian mengakui bahwa 
sesungguhnya, kisah mengenai Santo Valentinus sama sekali tidak memiliki
 dasar yang kuat dan diyakini hanya merupakan mitos atau dongeng, sebuah
 eufismisme dari ‘kedustaan’. Sebab itu, Gereja sebenarnya telah 
mengeluarkan surat larangan bagi pengikutnya untuk ikut-ikutan merayakan
 ritual yang tidak berdasar ini.
Saat ini ada banyak cerita tentang Santo Valentinus. Sekurangnya ada 
tiga nama Valentine yang diyakini meninggal pada 14 Februari (
The Catholic Encyclopedia Vol. XV, sub judul St.Valentine).
  Seorang di antaranya dilukiskan sebagai orang yang mati pada masa 
kekuasaan Kaisar Romawi. Namun ini pun tidak pernah ada penjelasan yang 
detil siapa sesungguhnya tokoh “St. Valentine” yang dimaksud, juga 
dengan kisahnya yang tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap
 sumber mengisahkan cerita yang berbeda. Tiga nama Santo yang menjadi 
martir tersebut yakni seorang pastur di Roma, seorang uskup Interamna 
(modern Terni), dan seorang martir di provinsi Romawi Afrika. Koneksi 
antara ketiga martir ini dengan Hari Valentine juga tidak jelas.
VERSI PERTAMA
Versi pertama menceritakan bahwa Santo Valentinus merupakan seorang 
Katolik yang dengan berani mengatakan di hadapan Kaisar Cladius II yang 
berkuasa di Roma bahwa Yesus adalah satu-satunya tuhan dan menolak 
menyembah para dewa dan dewi orang Romawi. Kaisar Claudius II sangat 
marah dan memerintahkan agar Valentinus dimasukkan ke dalam penjara. 
Orang-orang yang bersimpati pada Santo Valentinus diam-diam menulis 
surat dukungan dan meletakkannya di depan jeruji penjara. Ini saja versi
 pertama, tidak ada kisah tentang cinta dan kasih sayang.
VERSI KEDUA
Kisah kedua juga masih menceritakan tentang Kaisar Claudius II. Hanya 
saja kali ini soal ambisi dan keyakinan Sang Kaisar bahwa Kerajaan 
Romawi harus terus jaya dan sebab itu membutuhkan bala-tentara yang 
kuat, terampil, dan kokoh tak terkalahkan. Super tentara ini menurut 
Kaisar Claudius II hanya bisa dipenuhi oleh para pemuda yang masih suci,
 yang belum pernah menyentuh wanita. Maka Kaisar Claudius pun 
mengeluarkan larangan kepada semua pemuda di Roma untuk tidak menjalin 
hubungan dengan wanita.
Keputusan Sang Kaisar di mana setiap titahnya merupakan hukum yang 
sama sekali tidak boleh ditawar-tawar menggegerkan rakyatnya. Banyak 
yang sesungguhnya menolak hal ini, namun mereka tidak berani untuk 
menentangnya secara terang-terangan. Karena setiap yang melanggar titah 
Sang Paduka taruhannya teramat mahal: nyawanya sendiri.
Namun di luar kelaziman pada zaman itu, dua tokoh Gereja—Santo 
Valentinus dan Santo Marius—diam-diam menentang keputusan Kaisar 
Claudius dan menyebutnya sebagai hal yang menyalahi kecenderungan 
alamiah manusia. Namun tidak disinggung mengapa pula kedua tokoh Gereja 
ini tidak memprotes aturan Gereja sendiri yang mengharuskan para Pastor 
dan Biarawati hidup selibat. Bahkan diduga kuat, kedua orang ini juga 
menerapkan hidup selibat. Sayangnya, tidak ada petunjuk tentang hal ini.
Secara diam-diam, kedua tokoh Gereja ini tetap menikahkan pasangan 
muda yang ingin menikah dan menjadi konselor atau penasihat bagi kaum 
muda yang mengalami kendala dalam berhubungan dengan pasangannya.
Suatu waktu Kaisar Claudius mendengar berita tersebut dan langsung 
memerintahkan penangkapan atas keduanya. Santo Valentinus dan Santo 
Marius pun dijebloskan ke dalam penjara. Vonis mati pun dengan cepat 
dijatuhkan.
Dalam versi ini, di dalam penjara Santo Valentinus jatuh hari pada 
anak seorang sipir. Cintanya mendapat sambutan hangat. Anak gadis sang 
sipir atau penjaga penjara ini pun jatuh hati padanya. Sang gadis sering
 mengunjungi Valentinus hingga kekasihnya dihukum mati.
Cerita ini menjadi salah satu mitos yang paling dikenang hingga pada 
14 Februari 496 M, Paus Gelasius meresmikan hari itu sebagai hari untuk 
memperingati Santo Valentinus (
The World Book Encyclopedia 
1998). Walau demikian, Paus Gelasius sendiri mengakui bahwa sebenarnya 
tidak ada yang diketahui secara pasti mengenai martir-martir ini. Walau 
demikian, Gelasius II tetap menyatakan tanggal 14 Februari tiap tahun 
sebagai hari raya peringatan Santo Valentinus. Ada yang mengatakan, Paus
 Gelasius II sengaja menetapkan hal ini untuk menandingi hari raya 
Lupercalia yang dirayakan pada tanggal 15 Februari.
Hari Valentine yang oleh Paus Gelasisu II dimasukkan dalam kalender 
perayaan Gereja, pada tahun 1969 dihapus dari kalender gereja dan 
dinyatakan sama sekali tidak memiliki asal-muasal yang jelas. Sebab itu 
Gereja melarang Valentine’s Day dirayakan oleh umatnya. Walau demikian, 
larangan ini tidak ampuh dan V-Day masih saja diperingati oleh banyak 
orang di dunia. 
(Selengkapnya Baca: Eramuslim Digest Edisi 5: The Dark Valentines, Ritual Setan yang Sekarang Dipuja)
Sumber :
http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/misteri-v-day-1-lupercalian-festival-the-begin.htm
http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/misteri-valentine-s-day-2-mitos-santo valentinus.htm